
Gedung Seminari Xaverianum di kawasan Airlouw, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, yang diduga dibangun asal-asalan.
AMBON, BeritaAktual.co – Gedung Seminari Xaverianum di kawasan Airlouw, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, diduga dibangun asal-asalan. Setelah diinvestigasi, ternyata proyek tersebut milik Balai Penataan Bangunan, Prasarana dan Kawasan (BPBPK) wilayah Maluku. Proyek ini dikerjakan tahun 2024, dan anggarannya bersumber dari APBN sebesar Rp 14 miliar.
Lelang proyek tersebut dilakukan oleh Balai Pelaksana Pemilihan Jasa Konstruksi (BP2JK) Maluku, dan PT Naelaka Indah yang memenangkan lelang proyek dimaksud. Proses pembangunan dilakukan pada Juli 2024, dan dikebut pembangunannya tidak sampai setahun.
Pembangunan berupa aula, asrama, ruang genset, rumah pompa, ground water tank dan landscape atau penataan kawasan di tanah milik Keuskupan Amboina.
Rampung dibangun, infrastruktur itu diserahkan BPBPK Maluku kepada Keuskupan Amboina pada 23 April 2025 lalu. Namun sayangkan, belum genap enam bulan setelah selesai dibangun pada Februari 2025, beberapa bagian gedung terlihat rusak.
“Seminari Xaverianum dibangun asal-asalan akibat pembangunan tidak cermat, sembrono, dan kurang memperhatikan standar kualitas serta prosedur yang seharusnya. Akibatnya yang dihasilkan tidak memadai, karena cepat rusak, atau tidak berfungsi dengan baik,” ujar sumber sumber di BPBPK Maluku yang enggan namanya dikorankan kepada wartawan, di Ambon, Rabu (10/9/2025).
Dia menduga, pembangunan Seminari Xaverianum menggunakan material berkualitas buruk, dan pengerjaan yang terkesan terburu-buru.
“Masa pemeliharaan oleh kontraktor pelaksana pasca rampung dibangun hingga Februari 2026. Biar pun ada pemeliharan sampai Februari 2026, proyek yang dikerjakan ini sudah bermasalah,” tegas dia.
Rembesan air terlihat di beberapa ruangan, kusen pintu dan jendela menggunakan material tidak berkualitas. Gedung asrama lantai dua terdiri dari 18 kamar tidur, sedangkan kamar untuk pembina dan pembantu tidak disediakan.
Keuskupan Amboina sebagai pengelola atau penerima manfaat mengancam tidak menerima Seminari Xaverianum di kawasan Airlouw, tapi Balai Penataan Bangunan, Prasarana dan Kawasan Maluku telah membuat berita acara serah terima pada 23 April 2025 lalu.
“Keuskupan jelas keberatan karena belum digunakan, beberapa bagian dari gedung sudah rusak. Dan realisasi pembangunan tidak sesuai perencanaan awal,” ungkap sumber.
Terungkap, jika pembangunan Seminari Xaverianum di Airlouw ini tidak sepenuhnya sesuai rencana awal. Beberapa item yang harusnya dibangun malah dihilangkan.
Internal di BPBPK Maluku juga bergejolak, dan memunculkan pro kontra setelah beberapa kali perencanaan pembangunan Seminari Xaverianum mengalami perubahan.
“Iya, beberapa kali perubahan dari rencana awal, sejumlah item dihilangkan. Belum lagi pembangunannya dikerjakan asal-asalan seperti ini. Indikasinya ya, terjadi dugaan penyimpangan anggaran atau korupsi,” ujar sumber.
Indikasi penyimpangan mulai dari bahan bangunan yang tidak berkualitas, hingga beberapa item dihilangkan, yaitu fasilitas utama seperti kamar untuk pembina dan pembantu, hingga sistem air dan sanitasi yang disebut tidak layak, menjadi sederet persoalan.
Fakta lain terungkap, sejak awal pembangunan Seminari Xaverianum diusulkan oleh Keuskupan Amboina ke Kementerian PUPR, beberapa tahun silam. Namun ketika pembangunan bergulir tidak sesuai perencanaan awal.
“Saya ikuti rapat perencanaan sampai di Jakarta. Tapi yang terjadi di lapangan ini sudah beda bumi dan langit,” kata penanggung jawab penataan dan penanggung jawab proyek Keuskupan Amboina, Romo Agus Ulhayanan.
Pastor Agus mempertanyakan penghapusan sejumlah item penting dari rencana awal, dengan alasan efisiensi anggaran. Menurutnya material bangunan seperti pintu, jendela, hingga atap sangat tidak layak. Bahkan beberapa material sudah rusak sebelum digunakan.
“Belum dipakai saja bahan-bahan ini sudah rusak. Sekarang pelaksana mulai pusing karena pihak pengawas sudah datang, ambil foto, mungkin akan menyurati mereka. Pemasangan air saja bermasalah, jalur air tidak rata. Kualitas kerja paling buruk,” tegas Romo Agus.
Dia menyebutkan, jika proposal awal yang diajukan oleh tim perencanaan Keuskupan Amboina ke Kementerian PUPR hanya sebesar Rp 6 miliar.
Namun, setelah perjuangan panjang, nilai anggaran naik menjadi Rp 16 miliar. Tetapi hanya Rp 14 miliar yang direalisasikan oleh BPBPK, dan banyak item dihilangkan.
Dia menegaskan, jika Keuskupan Amboina keberatan atas perubahan struktur bangunan dari semula direncanakan satu lantai per unit menjadi dua lantai yang dipadatkan.
Romo Agus menambahkan, kebutuhan pendidikan seminari memiliki spesifikasi yang berbeda dari sekolah umum, seperti kebutuhan akan kamar mandi dalam setiap kamar, ruang pembina, ruang doa, dapur, dan aula.
“Kamar pembina dan kamar pembantu tidak dibuat. Itu berdampak langsung ke pengelolaan asrama, karena mereka (para pembina) seharusnya tinggal di dalam untuk mendampingi anak-anak,” ungkapnya.
Salah satu keputusan teknis yang sangat disesalkan adalah, pemindahan bak penampungan air. Dalam perencanaan awal, bak ditempatkan di dataran tinggi agar aliran air mengandalkan gravitasi.
Namun dalam pelaksanaan, bak dipindahkan ke dataran rendah dan menggunakan pompa besar yang dinilai tidak efisien, dan berisiko menyulitkan pengguna dalam jangka panjang.
“Pompa besar itu bukan solusi, itu siksa pengguna. Padahal, konsep gravitasi lebih alami dan murah. Itu semua tidak pernah dibahas dalam perencanaan awal,” kata Romo Agus.
Dia menyayangkan tidak dilibatkan Keuskupan Amboina dalam perubahan desain, dan teknis di tengah jalan. Dia menyebut, sebagai pemohon dan penerima manfaat, Keuskupan memiliki hak untuk dilibatkan secara menyeluruh dalam proses pelaksanaan proyek.
“Saya sudah tegas, kalau tidak sesuai tata ruang dan kesepakatan awal, saya tidak izinkan lahan dipakai. Ini tanah kita, proyek ini hadir, karena permintaan kita, tapi kenapa dalam pelaksanaan suara kita diabaikan?” tegas Romo Agus.
Dia berharap, BPK atau BPKP melakukan audit pembangunan Seminari Xaverianum di Airlouw, dan meminta Kejaksaan Tinggi Maluku turun tangan mengusut dugaan penyimpangan proyek ini.
Menurutnya, pelibatan BPK dan Kejaksaan lebih baik daripada membiarkan kualitas proyek buruk diterima begitu saja oleh Keuskupan.
“Saya malah bersyukur kalau Kejaksaan datang periksa, supaya bola ini bergulir ke publik. Daripada saya yang ribut dan tolak proyek ini,” katanya.
Romo Agus juga mengungkapkan, bahwa penyerahan awal asrama Seminari Xaverianum dilakukan sepihak, saat dirinya tidak berada di tempat. Malah digunakan untuk pencitraan HUT lembaga tertentu.
“Keuskupan Amboina belum menyatakan siap menerima bangunan tersebut secara resmi, karena masih dalam tahap pemeliharaan dan perbaikan,” tandas dia.