TEBING TINGGI, BeritaAktual.co – Walikota DPD LSM LIRA Tebing Tinggi, Medan Sumatera Utara, Ratama Saragih mengatakan, tindak pidana Korupsi yang tumbuh pesat tersistematis dan meluas di tanah air seharusnya masuk sebagai Kejahatan Luar Biasa (Extraordinary Crime), karena korupsi tidak hanya merugikan ekonomi negara, tetapi merugikan masyarakat.
“Namun yang terjadi, adanya alasan pembenaran terjadi jika ada kepentingan hukum yang hendak dilindungi, maka selain memaafkan tingkah laku si tersangka juga akan menghapuskan sifat melawan hukumnya si tersangka tersebut dan ini tidak dibernarkan,” tulisnya dalam rilis yang diterima. Kamis, 08/10/2020.
Dikatakan, untuk tindak pidana korupsi, adanya alasan pembenaran mempunyai pengertian bahwa tindak pidana itu dibenarkan oleh Undang-undang atau karena menurut pertimbangan Hakim (Yurisprudensi) tindak pidana itu akhirnya dibenarkan. “Peniadaan pertanggungjawaban pidana bukan karena hapusnya sifat melawan hukum yang tercantum dalam rumusan tindak pidana, sehingga peniadaan pertanggungjawaban pidana mempunyai pengertian yang beda dengan hapusnya sifat melawan hukum,” ujarnya.
Menurutnya hal ini perlu adanya penegasan, karen banyak ditemukan penyimpangan proses hukum kepada para pelaku kejahatan baik kejahatan umum dan kejahatan khusus (korupsi), ironisnya kecenderungan penerapan hukum ini terjadi dalam lingkup peradilan (judex juris) di tengah-tengah berkembangnya wabah pandemi Covid-19 ini.
“Hapusnya sifat melawan hukum sebagai alasan pembenar berarti hilangnya sifat melawan hukumnya dari tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka, jika ini diterapkan kepada pelaku kejahatan oleh aparat penegak hukum, maka runtuhlah kejayaan hukum sebagai panglima tertinggi,” terangnya.
Sebenarnya lanjut dia, alasan pembenar dan atau alasan pemaaf sebenarnya tidak ada tercantum dalam Kitab Hukum Pidana (KUHP), karena dalam buku I KUHP hanya menyebutkan, istilah alasan-alasan yang menghapuskan tindak pidana, yakni alasan alasan yang terdapat dalam batin terdakwa sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 44 KUHP, dan alasan-alasan yang diluar tertuang dalam Pasal 48-Pasal 51 KUHPidana.
Demikian dengan Yurisprudensi yang menjelaskan, penggunaan fungsi negatif melawan hukum materiil sebagai alasan pembenar , sebagaimana dijelaskan dalam putusan Mahkamah Agung No.42 K/Kr/1965, tanggal 8 Januari 1965 yang di antara pertimbangannya menyebutkan, jika suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas hukum yang bersifat umum yakni, negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, terdakwa tidak mendapatkan untung.
“Aktivis anti korupsi ini memberikan contoh di Pasal 3 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU PTPK), yang mencantumkan kata-kata “dengan tujuan” dimana kata-kata ini menandakan adanya perbuatan yang disengaja, maka sudah pasti dibutuhkan kerja keras jaksa penuntut umum (JPU) untuk membuktikan adanya hubungan (kausalitas) antara motivasi, perbuatan, dan akibatnya. Jika salah satu unsur kausalitas tersebut tak dapat dibuktikan maka pembuktian dianggap gagal,” paparnya.
Ditambahkan, demikian juga Pasal 2 ayat (1) Undang-undang PTPK, menentukan Penuntut Umum hanya cukup membuktikan adanya unsurĀ “kesengajaan” tanpa harus membuktikan lebih lanjut corak dari kesengajaan tersebut, dimana tidak jarang ditemukan dalam prakteknya adanya putusan pengadilan yang menyatakan Pasal 2 ayat (1) tidak terbukti, namun Pasal 3 nya terbukti. [wek]