Diduga Lakukan Pembiaran dan Inkosisten Izinkan Cagub Diskualifikasi Kampanye, PPI Laporkan KPU PBD ke DKPP

Bagikan berita ini

 

KOTA SORONG, BeritaAktual.co – Perhimpunan Pemilih Indonesia (PPI) akan melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua Barat Daya ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), lantaran KPU diduga dinilai melanggar prinsip hukum dan diduga melakukan pembiaran sehingga calon gubernur Papua Barat Daya Abdul Faris Umlati (AFU) yang sudah didiskualifikasi masih tetap melakukan kampanye terbuka di Waisai kabupaten Raja Ampat, Senin sore (11/11/2024).

Koordinator PPI Abraham Sagrim mengatakan, dalam Keputusan KPU Nomor 105, KPU secara resmi membatalkan pencalonan Abdul Faris Umlati (AFU) sebagai calon gubernur Papua Barat Daya, yang menurut PPI seharusnya memiliki kekuatan eksekutorial yang mengikat selama belum ada keputusan lain dari pengadilan yang membatalkan putusan tersebut.

“Sebagai lembaga yang seharusnya menjaga prinsip kepastian hukum, KPU seharusnya konsisten menjalankan keputusan yang telah dibuat. Mengizinkan seorang calon yang sudah didiskualifikasi untuk terus berkampanye terbuka tanpa ada putusan pengadilan yang mengubah keputusan itu adalah tindakan yang bukan hanya inkonsisten, tetapi juga beresiko mencederai prinsip hukum,” ujarnya.

Menurutnya, langkah ini menunjukkan adanya potensi inkonsistensi di tubuh KPU, yang justru melawan keputusan yang telah dibuatnya sendiri. Keputusan yang tidak dijalankan secara tegas, apalagi dalam proses pemilihan umum dapat mengaburkan batas-batas kepastian hukum yang seharusnya dipegang kuat oleh KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu.

“KPU tampaknya abai bahwa setiap keputusan yang sudah dikeluarkan adalah bentuk tanggung jawab hukum yang harus dijaga konsistensinya. Mengubah atau membiarkan keputusan itu dilanggar tanpa alasan kuat sama saja dengan menghilangkan kredibilitas mereka sendiri,” tambahnya.

PPI Papua Barat Daya juga menyadari bahwa tim kuasa hukum AFU telah mengajukan perkara ini ke Mahkamah Agung (MA). Namun, selama belum ada keputusan final dari MA yang membatalkan status diskualifikasi AFU, status Keputusan KPU Nomor 105 dianggap tetap berlaku. Dengan demikian, KPU semestinya tetap mematuhi keputusannya sendiri hingga ada putusan hukum lain yang menegaskan sebaliknya.

“Kami paham bahwa upaya hukum masih berlangsung dan ada surat dari kuasa hukum AFU ke KPU. Namun, proses hukum yang belum selesai tidak otomatis mengubah keputusan KPU. Jadi, selayaknya KPU tetap memegang teguh keputusan tersebut sampai ada dasar hukum baru yang sah,” ungkapnya.

Lebih lanjut Abraham menjelaskan, PPI menyoroti adalah langkah KPU yang memberikan izin bagi AFU untuk melanjutkan kampanye dapat menimbulkan pertanyaan serius terkait etika dan netralitas penyelenggara pemilu. Dalam hal ini, KPU dianggap gagal menjaga prinsip-prinsip integritas pemilu yang seharusnya menekankan netralitas, profesionalitas, dan kredibilitas. Tindakan yang dianggap tidak konsisten atau terkesan memihak berisiko menciptakan ketidakpercayaan publik dan bisa memunculkan anggapan bahwa KPU mungkin terlibat konflik kepentingan.

“Setiap langkah yang tidak konsisten dalam penyelenggaraan pemilu berpotensi mencederai kepercayaan publik. KPU, sebagai lembaga yang bertugas mengawasi dan menjalankan proses pemilu dengan netral dan jujur, seharusnya tidak membuka ruang bagi dugaan konflik kepentingan atau ketidaknetralan,” tegasnya.

PPI mengingatkan bahwa ketidakpatuhan KPU terhadap keputusannya sendiri menjadi preseden buruk yang akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap pemilu yang akan datang. Keputusan yang tidak dipegang teguh tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum, tetapi juga membahayakan kualitas pemilu itu sendiri, yang seharusnya mengedepankan keadilan dan kejujuran.

“Ketika penyelenggara pemilu mulai terlihat melonggarkan prinsip-prinsip dasar mereka, masyarakat akan mempertanyakan, apakah lembaga ini benar-benar bisa diandalkan sebagai pengawal demokrasi?,” imbuhnya.

Untuk itu, PPI Papua Barat Daya menyerukan agar KPU segera mengevaluasi kebijakan yang telah diambil dan memastikan bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan dijalankan sesuai dengan prinsip kepastian hukum. Jika tidak, tindakan ini berpotensi merusak kredibilitas lembaga, menurunkan kepercayaan publik, dan dapat berdampak buruk pada kualitas demokrasi ke depan.

“Prinsip kepastian hukum tidak hanya sekedar asas formal, tetapi juga pijakan etis bagi setiap lembaga yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemilu. KPU wajib menghormati dan menjalankan setiap keputusan yang telah dibuatnya, demi menjaga marwah demokrasi dan kepercayaan masyarakat,” pungkasnya. (MAR)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.